KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt ialah dzat yang Maha Agung
kekuasaanya meliputi langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya,serta
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.Salam dan salawat semoga
tetap tercurah kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW yang telah
mengeluarkan kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang
benderang,juga kepada keluarga beliau,sahabat dan orang-orang mukmin yang
senantiasa memegang teguh ajaran-Nya dalam menjalani hidup ini hingga akhir
zaman.
Penyusunan makalah ini sebagai salah satu bentuk tugas perkuliahan pada mata
kuliah Profesi Keguruan , sekaligus penulis ucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. H. Juhri AM, MPd. selaku dosen kami pada mata kuliah Profesi
Keguruan.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu,kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun penulis harapkan dengan penuh keterbukaan.
Semoga Allah SWT memberi imbalan yang setimpal dan dapat bernilai ibadah di
sisi-Nya.Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Metro,09 Juni 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap kali kita mengharapkan sesuatu pekerjaan dilakukan dengan baik, apakah itu di rumah sakit, di pasar, di penjara, atau di panti pijat, kita berbicara tentang perlunya perilaku yang profesional. Di dalam arti kata itu terkandung makna bahwa perilaku itu didasarkan atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan, dan pengertian itu dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang.
Kalau pengertian ini kita terapkan di dalam kehidupan secara luas, maka di semua segi kehidupan diperlukan profesionalisme, walaupun kita belum terbiasa mendengar apa arti suami profesional, misalnya. Rupa-rupanya aspek kemahiran yang tinggi itulah yang dimaksud apabila kita berbicara tentang pencopet profesional. Atau pelacur profesional. Bagaimana dengan petinju profesional? Apakah, apabila dia tergolong petinju amatir, ia tidak dapat atau tidak boleh bertinju secara profesional? Ba-gaimana dengan guru yang profesional? Apa beda guru profesional di Amerika dengan guru di Indonesia? Bagaimana profesionalisme guru di zaman Orde Baru dibandingkan dengan guru Orde Reformasi?
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui :
1. Profesionalisme Dunia Pendidikan
2. profesional guru di indonesia
C. Rumusan Masalah
• Bagaimanakah profesional itu yang sebenarnya
• Bagaimanakah professional itu di dan
• Professional kah guru di indonesia
D. Batasan Masalah
Makalah Ini Hanya Terbatas Profesionalisme Dunia Pendidikan
Makalah ini bertujuan mengetahui :
1. Profesionalisme Dunia Pendidikan
2. profesional guru di indonesia
C. Rumusan Masalah
• Bagaimanakah profesional itu yang sebenarnya
• Bagaimanakah professional itu di dan
• Professional kah guru di indonesia
D. Batasan Masalah
Makalah Ini Hanya Terbatas Profesionalisme Dunia Pendidikan
BAB II
ANALISIS
PROFESIONALISME DUNIA PENDIDIKAN
A.
Pengertian Profesi
Menurut Dra. Ani M.Hasan,M.Pd, Profesi dalam pengertian yang lebih luas yaitu kegiatan untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Sedangkan Sumargi profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka
Makagiansar, M. 1996 profesi guru adalah orang yang Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu
Nasanius, Y. 1998 mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Galbreath, J. 1999 frofesi gurtu adalah orang yang Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.
Pencanangan pekerjaan guru sebagai profesi kita catat sebagai sebuah upaya pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun, peran guru sangatlah vital dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu subjek bersama anak didik untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dan juga transfer nilai (transfer of value). Bagaimana mungkin mereka bisa melaksanakan pekerjaannya dengan baik jika para guru tidak mendapatkan penghargaan yang memadai dari pekerjaannya. Lebih sempit lagi, bagaimana mungkin guru bisa menjalankan profesinya dengan baik jika dalam kondisi tidak sejahtera.
Pencanangan guru sebagai sebuah profesi dapat dikatakan merupakan upaya pengakuan pemerintah atas jasa dan kerja keras mereka. Pengakuan ini menyejajarkan profesi guru seperti dokter, pengacara, dan berbagai profesi lain. Apakah dengan pengakuan ini dengan sendirinya kesejahteraan segera meningkat? Tentu saja tidak serta-merta demikian, jika pemerintah kemudian tidak menindaklanjuti dengan berbagai kebijakan yang mengarah kepada proses penyejahteraan guru.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah sudah bisa dikatakan bahwa guru merupakan sebuah profesi? Dilihat dari pekerjaannya yang memerlukan dedikasi tinggi, memang ya. Namun sistem pendidikan di Indonesia tampaknya belumlah kondusif untuk menyebut bahwa guru merupakan profesi. Guru, pada umumnya, masih bersifat okupasional, dan melaksanakan berbagai kebijakan birokrasi pusat dan daerah, tanpa mampu mengembangkan profesinya sebagai pendidik. Mereka sehari-harinya disibukkan dengan perencanaan pengajaran di kelas, tanpa mendapatkan kesempatan yang memadai mengembangkan keilmuannya di bidang pendidikan. Pendeknya, mereka sekadar para tukang yang melaksanakan kurikulum.
Hal kedua yang menarik dari peristiwa pada pencanangan guru sebagai profesi adalah kegaduhan para guru saat mendengarkan Presiden SBY menyampaikan sambutan, sampai-sampai presiden berkata, "Tolong dengarkan saya memberikan sambutan!" Peristiwa ini sungguh memprihatinkan, tak ubahnya seorang guru yang mengajar di kelas, tapi muridnya senantiasa gaduh. Kegaduhan berulang saat SBY menyatakan bahwa kesejahteraan para guru akan ditingkatkan dengan cara pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Peristiwa ini mencerminkan betapa beratnya pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan guru dari sekadar okupasional menjadi sebuah profesi. Dari sisi kebijakan dalam soal pendidikan, tidaklah kondusif untuk mengantarkan guru untuk profesional. Dari segi kultur mendidik, itu menunjukkan para guru pun tidak mampu tertib mendengarkan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jika gurunya saja demikian, bagaimana mungkin mereka mampu menertibkan murid-muridnya di kelas?
Saat disebut "pemerintah daerah" berkaitan dengan "kesejahteraan", mereka pun kembali gaduh. Ini mengundang tanda tanya besar, ada apa dengan "pemda" dan para guru? Apakah guru tidak percaya lagi terhadap pemda yang akan dijadikan pilar untuk menyejahterakan mereka? Berbagai hal di atas menimbulkan pertanyaan, apakah bisa guru-guru kita profesional. Tapi apa pun yang terjadi, memang guru harus diperjuangkan untuk profesional.
Menurut Dra. Ani M.Hasan,M.Pd, Profesi dalam pengertian yang lebih luas yaitu kegiatan untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Sedangkan Sumargi profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka
Makagiansar, M. 1996 profesi guru adalah orang yang Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu
Nasanius, Y. 1998 mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Galbreath, J. 1999 frofesi gurtu adalah orang yang Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.
Pencanangan pekerjaan guru sebagai profesi kita catat sebagai sebuah upaya pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun, peran guru sangatlah vital dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu subjek bersama anak didik untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dan juga transfer nilai (transfer of value). Bagaimana mungkin mereka bisa melaksanakan pekerjaannya dengan baik jika para guru tidak mendapatkan penghargaan yang memadai dari pekerjaannya. Lebih sempit lagi, bagaimana mungkin guru bisa menjalankan profesinya dengan baik jika dalam kondisi tidak sejahtera.
Pencanangan guru sebagai sebuah profesi dapat dikatakan merupakan upaya pengakuan pemerintah atas jasa dan kerja keras mereka. Pengakuan ini menyejajarkan profesi guru seperti dokter, pengacara, dan berbagai profesi lain. Apakah dengan pengakuan ini dengan sendirinya kesejahteraan segera meningkat? Tentu saja tidak serta-merta demikian, jika pemerintah kemudian tidak menindaklanjuti dengan berbagai kebijakan yang mengarah kepada proses penyejahteraan guru.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah sudah bisa dikatakan bahwa guru merupakan sebuah profesi? Dilihat dari pekerjaannya yang memerlukan dedikasi tinggi, memang ya. Namun sistem pendidikan di Indonesia tampaknya belumlah kondusif untuk menyebut bahwa guru merupakan profesi. Guru, pada umumnya, masih bersifat okupasional, dan melaksanakan berbagai kebijakan birokrasi pusat dan daerah, tanpa mampu mengembangkan profesinya sebagai pendidik. Mereka sehari-harinya disibukkan dengan perencanaan pengajaran di kelas, tanpa mendapatkan kesempatan yang memadai mengembangkan keilmuannya di bidang pendidikan. Pendeknya, mereka sekadar para tukang yang melaksanakan kurikulum.
Hal kedua yang menarik dari peristiwa pada pencanangan guru sebagai profesi adalah kegaduhan para guru saat mendengarkan Presiden SBY menyampaikan sambutan, sampai-sampai presiden berkata, "Tolong dengarkan saya memberikan sambutan!" Peristiwa ini sungguh memprihatinkan, tak ubahnya seorang guru yang mengajar di kelas, tapi muridnya senantiasa gaduh. Kegaduhan berulang saat SBY menyatakan bahwa kesejahteraan para guru akan ditingkatkan dengan cara pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Peristiwa ini mencerminkan betapa beratnya pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan guru dari sekadar okupasional menjadi sebuah profesi. Dari sisi kebijakan dalam soal pendidikan, tidaklah kondusif untuk mengantarkan guru untuk profesional. Dari segi kultur mendidik, itu menunjukkan para guru pun tidak mampu tertib mendengarkan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jika gurunya saja demikian, bagaimana mungkin mereka mampu menertibkan murid-muridnya di kelas?
Saat disebut "pemerintah daerah" berkaitan dengan "kesejahteraan", mereka pun kembali gaduh. Ini mengundang tanda tanya besar, ada apa dengan "pemda" dan para guru? Apakah guru tidak percaya lagi terhadap pemda yang akan dijadikan pilar untuk menyejahterakan mereka? Berbagai hal di atas menimbulkan pertanyaan, apakah bisa guru-guru kita profesional. Tapi apa pun yang terjadi, memang guru harus diperjuangkan untuk profesional.
B. PROFESIONAL
Profesional adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan - serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut - untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesio-nal. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Kalau begitu, apakah sebaiknya kita tidak usah persyaratkan perlunya seseorang terlebih dahulu bersekolah guru sebelum dapat menjadi guru yang profesional? Bagaimana pula keadaannya apabila tuntutan untuk menjadi guru profesional adalah begitu kuat, tetapi lingkungan dan kondisi kerja sama sekali tidak mendukung? Ataukah kita menggunakan istilah guru profesional hanya dengan harapan agar guru masih mau bekerja mati-matian, se-bagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tanpa segala-galanya! _ di dalam kondisi yang setengah mati buruknya? Sunggguh tidak berperikemanusiaan untuk menuntut profesio-nalisme dari guru, kalau guru sebenarnya sudah tergolong kaum the have nots, di luar dan di dalam habitatnya sebagai guru.
Di kalangan kelompok-kelompok atau organisasi profesional, dokter, pengacara, dan sekarang juga guru, seringkali kita mengenal sebuah sifat lagi yang ditambahkan di dalam persyaratan profesi: kode etik. Kode etik dokter, misalnya, tidak membenarkan anggota-anggotanya menceritakan kian kemari pe- nyakit atau penderitaan seorang pasien, ke-cuali di dalam hal tertentu yang dikehendaki oleh hukum. Seorang hakim tidak dibenarkan menerima suap dalam keadaan bagaimanapun, seperti juga seorang polisi, petugas penegak hukum. Guru juga begitu: banyak rambu-rambu yang diperkenalkan di dalam kode etik organisasi profesional, yang intinya adalah untuk memastikan agar setiap anggotanya menjunjung tinggi tugas yang diberikan ke- padanya, termasuk menyimpan rahasia jabat-an. Tetapi kata orang, pelacuran pun mempunyai kode etik atau rahasia jabatan, yakni tidak mengambil langganan yang sudah menjadi `milik' pelacur lain, dan tidak membongkar identitas pelanggannya. Jadi profesionalisme yang bagaimana yang kita perlukan?
C. Kode Etik Guru
Melaksanakan Kode Etik Guru, sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu oeganisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik bergungsi untuk mendidamisit setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya deni kemaslakatan oranglain.
Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pihlihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan yang dipilihlnya.
Isi kode etik guru indonesia
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
2. Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
5. guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
6. guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
7. guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
8. guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9. guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan ma-tinya diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu kental sebagai watak yang tidak menghormati _ karena tidak memahami _ hakikat profesionalisme.
B. Saran
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat meng- identifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan dengan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-tenaga profesional; sumber daya manusia, sarana, iklim politik, dan berbagai unsur di da-lam ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar